Cinta yang Tak Selesai
Di sebuah kota, hidup sepasang kekasih yang begitu saling mencintai. Ahmad dan Siti telah berjanji akan bersama selamanya. Pernikahan mereka sudah di depan mata, hanya tinggal menghitung hari. Keluarga besar sudah mulai berdatangan, rumah penuh dengan tawa dan canda, mempersiapkan momen bahagia yang telah dinantikan sejak lama, Cinta yang Tak Selesai.
Namun, takdir berbicara lain.
Pagi itu, langit cerah. Ahmad berangkat bekerja seperti biasa, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Ia berbicara tentang rencana pernikahan dengan rekan-rekannya di pabrik, tentang gaun putih yang akan dikenakan Siti, tentang masa depan yang cerah. Tapi, siapa yang bisa menebak? Kecelakaan tragis merenggut nyawanya. Sebuah mesin berat yang rusak tiba-tiba jatuh, menimpa tubuhnya. Ahmad tak pernah kembali.
Berita itu menghancurkan semuanya. Keluarga yang tadinya sibuk mempersiapkan pernikahan, kini harus berbalik arah, mengurus pemakaman. Tangis pecah, bukan hanya di rumah Ahmad, tetapi di seluruh desa. Semua orang mengenal Ahmad sebagai pria baik hati yang selalu membantu siapa saja. Kepergiannya meninggalkan luka mendalam di hati banyak orang.
Hati Yang Remuk
Siti, yang seharusnya mengenakan gaun pengantin, kini hanya bisa memeluk gaun itu sambil menangis. Mimpinya hancur berkeping-keping. Ia masih muda, tak tahu bagaimana harus menghadapi kenyataan pahit ini. Ayah Ahmad, Pak Hasan, tak kuasa menahan tangisnya saat melihat tubuh kaku putranya di ruang jenazah. “Harusnya aku yang lebih dulu pergi, bukan dia,” gumamnya dengan suara bergetar.
Keluarga Ahmad bukanlah keluarga kaya. Mereka hidup sederhana, cukup untuk makan sehari-hari. Kematian Ahmad membawa beban finansial yang berat. Biaya pemakaman, utang yang harus dibayar, semuanya datang bertubi-tubi. Pak Hasan dan istrinya, Bu Aminah, bingung harus bagaimana. Tidak ada proteksi kematian, tidak ada tabungan yang cukup. Semua terasa gelap.
Teman-teman dan tetangga datang membantu sebisa mungkin, memberikan sumbangan dan dukungan. Namun, bantuan itu tidak cukup untuk menutupi semua biaya yang harus dikeluarkan. Di tengah duka yang mendalam, mereka harus berpikir tentang uang, tentang bagaimana melanjutkan hidup tanpa Ahmad.
Hari pemakaman tiba. Hujan turun deras, seolah langit ikut menangisi kepergian Ahmad. Siti berdiri di samping makam, air matanya bercampur dengan tetesan hujan. “Selamat tinggal, Ahmad. Aku akan selalu mencintaimu,” bisiknya pelan.
Cinta yang Tak Selesai dalam Perjalanan
Dalam kesedihan itu, Pak Hasan tersadar akan satu hal. Pentingnya proteksi kematian, asuransi yang bisa meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Ia menyesal tidak pernah memikirkannya sebelumnya. Kematian memang tak terduga, dan tak ada yang tahu kapan ia datang. Namun, dengan persiapan yang tepat, setidaknya beban yang harus ditanggung keluarga bisa lebih ringan.
Hari-hari berlalu, keluarga Ahmad berusaha bangkit. Siti, meski hatinya hancur, mencoba melanjutkan hidup. Ia tahu Ahmad ingin melihatnya bahagia, meski kini hanya dari tempat yang jauh. Pak Hasan mulai berbicara tentang pentingnya proteksi kematian kepada tetangga dan kerabatnya. Ia tak ingin ada keluarga lain yang mengalami kesulitan yang sama.
Kisah Ahmad dan Siti adalah pengingat bagi kita semua. Cinta sejati memang abadi, tapi hidup harus terus berjalan. Kita tak bisa menghindari kematian, namun kita bisa bersiap menghadapinya. Dengan proteksi yang tepat, kita bisa memberikan ketenangan bagi mereka yang kita tinggalkan. Karena, seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan.
Leave a Comment