Di Antara Empati dan Profesionalisme

Setiap kali sirene ambulans berbunyi, banyak yang mungkin tak menyadari bahwa di dalamnya bukan lagi nyawa yang dikejar, melainkan kenangan terakhir yang dibawa. Bagi kami yang bekerja di layanan ambulans jenazah 24jam, setiap perjalanan adalah momen krusial, bukan hanya untuk mereka yang telah tiada, tetapi lebih lagi untuk keluarga yang ditinggalkan. Pada perjalanan terakhir seseorang, kami adalah saksi dari kesedihan yang mendalam, harapan yang padam, dan cinta yang tetap abadi, Di Antara Empati dan Profesionalisme.

Saya telah bertahun-tahun bekerja di bidang ini, dan meski berhadapan dengan kematian menjadi bagian rutin dari pekerjaan saya, setiap momen selalu memberikan pelajaran baru tentang kehidupan. Di setiap wajah keluarga yang ditinggalkan, ada cerita yang tak terucap—perasaan kehilangan yang menggantung di udara. Tugas kami bukan hanya sekedar membawa jenazah ke tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga menghormati perasaan keluarga, memberikan mereka dukungan dalam bentuk yang seringkali tak terucapkan.

Sebuah Makna Dalam Pekerjaan

Saya masih ingat satu perjalanan yang mengubah pandangan saya tentang betapa pentingnya empati dalam pekerjaan ini. Hari itu, kami dipanggil untuk menjemput jenazah seorang ibu yang meninggal mendadak akibat serangan jantung. Keluarganya masih terkejut, tak siap menghadapi kenyataan yang begitu tiba-tiba. Ketika saya sampai di rumah duka, ada seorang anak kecil, mungkin berusia tujuh tahun, yang duduk di pojok ruangan, terdiam menatap tubuh ibunya yang sudah terbungkus kain kafan. Air matanya tak mengalir, tapi rasa kehilangan jelas terpancar dari matanya yang kosong.

Saya melihat ayahnya, seorang pria yang tampak tegar di luar, namun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Ia berusaha menjelaskan kepada anaknya apa yang sedang terjadi, tapi kata-kata terasa tak cukup. Saat itulah saya menyadari, tugas kami bukan hanya memindahkan tubuh, tapi juga memberikan ruang bagi keluarga untuk merasa dihargai di tengah duka yang mereka rasakan.

Dengan penuh hati-hati, saya dan tim menyiapkan segala sesuatunya, memastikan setiap gerakan kami dilakukan dengan lembut dan penuh hormat. Kami berbicara pelan, menghindari suara keras yang bisa mengganggu momen-momen keheningan mereka. Saya ingat, ketika hendak mengangkat jenazah ke dalam ambulans, ayah itu memegang tangan saya, dan dengan suara pelan ia berkata, “Tolong, perlakukan dia sebaik mungkin. Dia ibu dari anak saya.”

Di Antara Empati dan Profesionalisme

Kata-kata itu menghentak saya. Saya merasa ada beban besar yang harus kami pikul, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Kami harus memastikan bahwa dalam setiap langkah, keluarga tersebut merasa bahwa mereka tidak hanya ditinggalkan oleh orang yang mereka cintai. Tetapi juga dihormati oleh kami yang menangani perjalanan terakhir ini.

Di dalam ambulans, saya duduk diam, membiarkan pikiran saya berputar. Pekerjaan ini menuntut kami untuk bersikap profesional—tanggap, cepat, dan tepat. Namun, lebih dari itu, kami harus memiliki empati yang mendalam. Kematian adalah bagian dari kehidupan, tetapi bagi mereka yang ditinggalkan, rasa sakitnya begitu nyata. Mereka tak hanya kehilangan sosok, tetapi juga kehilangan harapan, tawa, dan cinta yang pernah ada. Dalam momen-momen seperti ini, kami menjadi jembatan antara dunia yang ditinggalkan dan kenangan yang akan terus hidup.

Saat kami tiba di pemakaman, saya melihat anak kecil itu lagi. Kali ini, air matanya sudah mengalir. Ia memeluk erat boneka yang ia bawa, mungkin satu-satunya sumber kenyamanan di tengah badai yang ia rasakan. Dan di saat itulah, saya menyadari, bahwa meskipun kami adalah bagian dari perjalanan yang penuh duka ini. Kami bisa memberikan sedikit ketenangan dengan cara menghargai setiap perasaan yang ada, sekecil apapun itu.

Empati dan profesionalisme, itulah yang membuat pekerjaan ini bukan sekadar tugas, melainkan panggilan hati. Sebab di akhir setiap perjalanan, bukan hanya tubuh yang kami antar, tetapi juga harapan bahwa keluarga yang ditinggalkan merasa bahwa mereka. Banyak orang yang mereka cintai, telah diperlakukan dengan penuh rasa hormat dan kasih.

Leave a Comment

Leave a Reply