Jalan Pulang yang Terakhir
Langit di desa kecil itu selalu terlihat lebih cerah, seolah-olah langit ikut merayakan kedamaian yang hanya bisa dirasakan di tempat-tempat terpencil seperti ini. Desa tempat aku dan Ibu dulu tinggal, adalah desa yang kini menjadi tujuan akhir dari perjalanan panjang seorang istri yang sudah lama beristirahat di bawah tanah di kota besar, Jalan Pulang yang Terakhir.
Ayahku, seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya, memandang ke arah lahan kosong di bawah pohon rindang yang terletak tidak jauh dari rumah lama mereka. Dulu, tempat ini adalah saksi bisu dari segala canda tawa dan tangis yang pernah mereka bagi bersama. “Di sini, Nak,” ujarnya dengan suara serak, “Aku ingin ibumu pulang ke sini, ke tempat ini. Di sini dia akan merasa damai.”
Perjalanan Pulang
Ayahku tidak pernah bisa meninggalkan kenangan masa lalu. Setiap kali aku datang menjenguknya di kota, dia selalu bercerita tentang kehidupan mereka di desa, tentang kebahagiaan sederhana yang mereka nikmati bersama, dan tentang keinginannya untuk membawa Ibu kembali ke tempat yang telah menjadi rumah dalam hati mereka berdua.
Setelah Ibu meninggal lima tahun lalu, Ayah memutuskan untuk tetap tinggal di kota demi bisa dekat dengan makam Ibu. Namun, seiring waktu, kerinduan akan desa kecil mereka semakin besar. Hanya saja, memindahkan makam bukanlah hal yang mudah. Namun, Ayahku sudah bulat dengan keputusannya, dan itulah mengapa kami menghubungi layanan pemakaman yang telah lama kami percayai.
Tim dari jasa pemakaman Indonesia terpercaya datang dengan penuh penghormatan. Mereka tidak hanya membantu dari segi teknis, tetapi juga memahami perasaan Ayah. Mereka menyiapkan segala sesuatu dengan tenang, mulai dari penggalian makam hingga pemindahan jenazah, memastikan bahwa proses ini berjalan dengan hormat dan penuh perhatian.
Aku ingat saat itu. Langit cerah, udara sejuk menyelimuti kami, dan Ayah berdiri di sampingku dengan mata yang basah. Ketika peti itu diangkat dari tempatnya di kota, aku melihat Ayah menundukkan kepala, berdoa dalam keheningan. Setiap langkah terasa berat, tetapi ada rasa lega yang perlahan-lahan mengisi hatinya.
Jalan Pulang yang Terakhir
Sesampainya di desa, aku melihat senyum tipis di wajah Ayah, meski matanya masih dipenuhi air mata. Di sini, di bawah pohon rindang yang mereka sukai, Ibu akhirnya akan beristirahat. Aku tahu, ini adalah keputusan yang tidak mudah bagi Ayah, tapi aku bisa melihat ketenangan yang perlahan mengisi dirinya. Ini adalah jalan pulang yang terakhir untuk cinta sejatinya.
Saat peti itu diturunkan ke dalam tanah, Ayah berbisik lembut, “Selamat datang kembali, Sayang. Di sini, di tempat yang selalu kita sebut rumah.”
Aku tahu, bagi Ayah, ini lebih dari sekadar pemindahan makam. Ini adalah kesempatan untuk menghidupkan kembali kenangan-kenangan manis yang pernah mereka bagi bersama di desa ini. Dengan bantuan layanan pemakaman, proses yang seharusnya penuh dengan kesedihan, berubah menjadi momen yang penuh makna dan penghormatan.
Beberapa hari kemudian, aku mendapati Ayah sering duduk di bangku kayu yang terletak tak jauh dari makam Ibu. Ia tampak tenang, seolah-olah kehadiran Ibu di sini membuat segalanya terasa lebih dekat, lebih nyata. Setiap kali aku menanyakan keadaannya, dia hanya tersenyum dan berkata, “Ibumu sudah pulang, Nak. Sekarang semuanya baik-baik saja.”
Aku menyadari bahwa, meskipun hidup harus terus berjalan, ada beberapa bagian dari diri kita yang akan selalu terikat dengan kenangan. Dan bagi Ayah, membawa Ibu pulang ke tempat ini adalah cara untuk memastikan bahwa cinta mereka akan terus hidup, bahkan dalam keheningan makam yang damai.
Leave a Comment