Jejak Cinta di Antara Dua Kota

Matahari baru saja terbenam ketika aku menerima panggilan telepon dari seorang wanita tua. Suaranya pelan dan bergetar, terdengar seperti beban yang telah dipikulnya terlalu lama. Namanya Ibu Ningsih, seorang wanita yang telah menghabiskan puluhan tahun hidupnya di kota ini, jauh dari kampung halaman di mana suaminya dimakamkan. “Nak, aku ingin memindahkan makam suamiku ke sini,” katanya dengan suara yang dipenuhi harapan dan kesedihan, Jejak Cinta di Antara Dua Kota.

Ibu Ningsih bercerita tentang suaminya, Pak Rahmat, yang meninggal sepuluh tahun lalu. Mereka berasal dari desa kecil yang terpencil, tetapi setelah kematian suaminya, Ibu Ningsih pindah ke kota untuk tinggal bersama anak-anaknya. Setiap tahun, ia selalu pulang ke desa untuk menziarahi makam Pak Rahmat, tetapi kini usianya semakin tua, dan perjalanan itu menjadi terlalu berat baginya. “Aku ingin dia dekat, agar aku bisa selalu mengunjunginya tanpa harus menunggu waktu,” katanya, hampir berbisik.

Perjalanan Cinta

Kami segera mengatur segala sesuatunya, memastikan bahwa jasa proses pemindahan makam berjalan lancar. Ini bukan sekadar pekerjaan biasa; ada nilai emosional yang mendalam dalam setiap langkah yang kami ambil. Aku bisa merasakan cinta yang begitu besar antara Ibu Ningsih dan almarhum suaminya. Cinta itu tidak berkurang meskipun kematian telah memisahkan mereka.

Hari pemindahan makam tiba. Ibu Ningsih mengenakan pakaian sederhana, tetapi rapi, seolah ingin menunjukkan rasa hormat terakhirnya kepada suaminya. Aku mendampinginya selama proses pemindahan. Kami menyaksikan tanah yang telah lama menyimpan jasad Pak Rahmat perlahan-lahan diambil kembali, memindahkan setiap gumpalan dengan hati-hati. Ibu Ningsih hanya diam, tetapi aku tahu hatinya berbicara banyak saat itu.

Ketika akhirnya kami tiba di kota, di pemakaman yang lebih dekat dengan rumah Ibu Ningsih, suasana terasa lebih ringan, namun penuh dengan makna. Kami menyiapkan upacara sederhana, namun penuh penghormatan, persis seperti yang diinginkan Ibu Ningsih. Ia berdiri di dekat makam baru suaminya, mengelus batu nisannya yang baru dengan tangan yang gemetar.

“Aku tahu, Pak, ini bukan kampung halaman kita, tapi di sinilah rumahku sekarang. Aku ingin kau selalu dekat, agar aku bisa bercerita tentang hari-hariku, seperti dulu,” katanya, seolah-olah berbicara langsung kepada suaminya.

Jejak Cinta di Antara Dua Kota yang Dekat di Hati

Layanan kami tidak hanya berakhir pada proses pemindahan makam. Kami juga berusaha memberikan kenyamanan emosional kepada Ibu Ningsih. Sebuah sesi kecil diadakan di mana Ibu Ningsih bisa berbagi kenangannya tentang Pak Rahmat. Ia menceritakan betapa setianya suaminya, betapa besar cinta yang mereka miliki, dan bagaimana hidupnya terasa kosong sejak kepergiannya.

Aku teringat kembali kata-katanya di awal, “Aku ingin dia dekat, agar aku bisa selalu mengunjunginya tanpa harus menunggu waktu.” Kini, suaminya telah berada dekat, tak lagi perlu menunggu waktu yang panjang untuk mengunjunginya. Setiap hari adalah kesempatan untuk mengenang, berbicara, dan merasakan kehadirannya di sana.

Setelah semua selesai, Ibu Ningsih tersenyum padaku, senyum yang dipenuhi rasa syukur dan kelegaan. “Terima kasih, Nak. Kau sudah membawanya pulang.”

Aku mengangguk pelan. Dalam hatiku, aku tahu bahwa cinta sejati memang tak pernah mati, bahkan saat seseorang yang dicintai telah tiada. Dan di antara dua kota yang kini menghubungkan mereka kembali, jejak cinta itu akan selalu ada, abadi dalam kenangan yang tak terhapuskan.

Leave a Comment

Leave a Reply