Jejak Terakhir di Tanah Ibu
Matahari pagi menyelimuti langit desa dengan sinarnya yang lembut, namun ada kekosongan di hati Fandi yang tak mampu dihangatkan oleh apapun. Sudah bertahun-tahun ia menetap di kota besar, jauh dari segala kenangan masa kecilnya di desa ini. Namun, satu hal yang tak pernah lepas dari pikirannya adalah makam ibunya yang terletak di tanah kelahiran mereka. Di tengah kesibukan hidup kota, kenangan tentang ibu selalu terasa dekat, dan makin hari semakin kuat perasaan bahwa ia perlu membawa ibunya lebih dekat dengan dirinya, dekat dengan keluarga yang kini ia bina di kota, Jejak Terakhir di Tanah Ibu.
Keputusan itu tidak mudah. Fandi tahu bahwa makam ibunya telah lama berdiri kokoh di tanah desa, ditemani oleh angin yang berbisik lembut dan gemericik air dari sungai kecil di dekatnya. Tapi jarak dan waktu membuat kunjungan ke makam itu semakin jarang terjadi. Hatinya berbisik bahwa memindahkan makam sang ibu ke kota akan memberinya ketenangan yang selama ini ia cari. Setidaknya, di kota, ia bisa lebih sering berziarah, lebih dekat dengan doa dan kenangan tentang wanita yang telah memberinya segala cinta tanpa syarat.
Ibu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Fandi akhirnya menghubungi sebuah layanan pemakaman profesional yang sudah sering ia dengar namanya. Ia menjelaskan niatnya yang penuh beban emosi itu kepada salah satu staf di sana. Suara lembut di ujung telepon menyambutnya dengan penuh pengertian, seperti sahabat lama yang paham betul bagaimana rasanya merindukan sosok yang telah tiada.
Proses pemindahan makam 24 jam tidak mudah. Ada banyak izin yang harus diurus, dan tidak semua keluarga besar setuju dengan keputusan Fandi. Tapi ia teguh dengan pilihannya. Setiap langkah dalam proses itu—mulai dari penggalian makam hingga transportasi menuju tempat peristirahatan yang baru—dilakukan dengan penuh kehormatan dan keahlian oleh layanan pemakaman. Mereka memastikan bahwa makam ibunya tidak sekadar dipindahkan, tetapi juga dihormati. Setiap detail dipikirkan, setiap sentuhan dilakukan dengan penuh perhatian.
Jejak Terakhir di Tanah Ibu
Saat hari pemakaman ulang tiba, Fandi berdiri di depan liang lahat yang baru, merasakan campuran rasa lega dan kesedihan yang dalam. Ibunya kini lebih dekat, dalam jarak dan dalam hati. Prosesi pemakaman berjalan dengan tenang. Setiap doa yang diucapkan terasa lebih nyata, lebih intim, seolah ibu bisa mendengar mereka dari surga. Fandi menggenggam tangan istrinya erat, merasakan dukungan yang ia butuhkan di saat-saat seperti ini.
Bagi Fandi, langkah ini bukan sekadar tentang memindahkan jasad ibunya. Ini tentang memperbaiki hubungan yang terputus oleh jarak dan waktu, tentang menciptakan ruang yang lebih dekat dengan kenangan masa lalu. Layanan pemakaman telah memberikan lebih dari sekadar bantuan logistik. Mereka memberikan ketenangan, perasaan bahwa apa yang ia lakukan adalah benar dan penuh makna. Ibu kini ada di tempat yang lebih dekat, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.
Di akhir hari, ketika matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi di kota, Fandi tersenyum kecil di antara air matanya. Ia merasa damai. Di hatinya, ada perasaan bahwa ibunya akhirnya pulang—bukan hanya ke tanah baru, tetapi ke dalam kehidupannya yang sekarang, selamanya ada di sana, lebih dekat dari sebelumnya.
Leave a Comment