Kembali ke Akar

Pagi itu, sinar mentari menyinari rumah kecil di pinggiran kota. Di dalamnya, terdapat sebuah keheningan yang menggema di sepanjang lorong-lorong kecil. Anak-anak bergegas dari satu sudut ke sudut lain, mencari jawaban atas misteri yang terasa menggantung di udara Kembali ke Akar. Mereka, kini menjadi yatim piatu setelah kepergian ayah mereka yang tercinta, Pak Malik.

Salma, yang berusia 12 tahun, adalah anak tertua dari lima bersaudara. Dia menarik nafas dalam-dalam saat menyadari bahwa perjalanan keluarganya masih jauh dari selesai. Ayah mereka meninggal tanpa meninggalkan banyak hal, termasuk uang untuk pemakaman. Mereka harus segera menemukan solusi, dan itu bukanlah tugas yang mudah.

Saat Salma menyusuri sudut-sudut rumah yang dulu dipenuhi dengan tawa dan canda, dia teringat akan masa lalu yang bahagia. Tetapi sekarang, tanggung jawab besar terletak di pundaknya. Dia adalah pilar kuat keluarga, walaupun usianya masih terbilang muda.

Kehidupan Kembali ke Akar

“Mama, apa yang akan kita lakukan?” tanya Salma pada ibunya yang tampak tegar meskipun terlihat kerapuhan di matanya.

Ibu mereka, Nyonya Ana, duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan. Wajahnya pucat, namun kekuatan tetap bersinar di matanya. “Kita akan menemukan jalan, Nak. Kita selalu bisa menemukan jalan,” jawabnya dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan.

Salma tahu bahwa kata-kata ibunya bukanlah janji kosong. Mereka telah melewati berbagai rintangan bersama, dan kali ini tidak akan menjadi pengecualian. Dia mengangguk mantap, bersumpah dalam hati untuk menjaga keluarganya tetap bersama, sekalipun badai datang menerpa.

Dengan tekad yang kuat, Salma mengambil inisiatif untuk mencari solusi. Dia pergi ke tetangga-tetangga terdekat, meminta bantuan atau pekerjaan sambil menawarkan bantuan dalam bentuk apapun yang mereka butuhkan. Namun, tanggapan dari tetangga-tetangga itu tidaklah menggembirakan. Beberapa menolaknya dengan alasan tidak punya pekerjaan ekstra, sementara yang lain hanya menggelengkan kepala dengan simpati.

Namun, Salma tidak menyerah begitu saja. Dia tetap berusaha, terus bergerak maju meskipun jalan terasa semakin sulit. Dia bahkan memutuskan untuk berbicara dengan pemilik toko di sudut jalan, meminta pekerjaan apa pun yang bisa dia lakukan.

“Maaf, Nak. Kami tidak membutuhkan bantuan ekstra saat ini,” kata Pak Sarjo, pemilik toko, dengan suara lembut namun tegas.

Salma menundukkan kepalanya, tetapi dia tidak putus asa. Dia meninggalkan toko itu dengan langkah yang tegar, menolak untuk menyerah pada keputusasaan. Di dalam hatinya, api harapan masih menyala, meskipun kecil.

Harapan

Sementara itu, di rumah, adik-adik Salma merasa semakin cemas. Mereka melihat kakak mereka berjuang tanpa henti, dan mereka merasakan beban itu juga. Tetapi mereka tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu.

Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang di langit, mereka semua duduk bersama di ruang tamu. Suasana hening, hanya terdengar gemerisik angin yang masuk melalui celah-celah jendela.

“Tidak adil, Mama,” kata Rian, adik Salma yang paling kecil. “Kenapa ayah harus pergi begitu cepat?”

Nyonya Ana mencoba menenangkan anak-anaknya. “Ayah pergi karena itu adalah takdirnya, Nak. Kita tidak bisa mengubahnya.”

Tetapi kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran dan kecemasan mereka. Mereka masih membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang mengganggu mereka sejak kepergian ayah mereka.

Tiba-tiba, seorang tetangga tua yang dikenal baik oleh keluarga itu datang berkunjung. Dia membawa sebuah kotak kecil yang dihiasi dengan hiasan kertas.

“Ini untukmu, anak-anak,” kata Pak Lurah sambil menyerahkan kotak itu kepada mereka.

Anak-anak itu membuka kotak itu dengan penuh keingintahuan. Di dalamnya, mereka menemukan sejumlah uang yang cukup untuk pemakaman ayah mereka. Air mata mereka berlinang saat mereka menyadari bahwa ada orang-orang yang peduli dengan mereka, yang rela memberikan bantuan tanpa pamrih.

Salma menatap Pak Lurah dengan penuh terima kasih. “Terima kasih, Pak. Kami tidak akan melupakan bantuanmu ini.”

Pak Lurah tersenyum. “Kalian adalah bagian dari komunitas ini. Dan di sini, kita saling membantu satu sama lain dalam kesulitan.”

Saat mereka berpelukan dalam kebahagiaan atas bantuan yang mereka terima, mereka menyadari bahwa meskipun kehidupan mungkin penuh dengan rintangan, mereka tidak sendirian. Mereka memiliki satu sama lain, dan komunitas yang selalu siap membantu saat mereka membutuhkan. Dan dengan keyakinan itu, mereka bersama-sama melangkah maju, menatap masa depan dengan harapan yang baru lahir.

Leave a Comment

Leave a Reply