Kembali ke Tempat Asal

Ketika telepon itu berdering di pagi buta, perasaanku sudah tidak tenang. Suara dokter dari ujung sana terdengar hampa, hampir tanpa emosi, ketika ia mengabarkan bahwa ayahku telah meninggal dunia. Meski aku tahu bahwa hari itu akan datang, rasa kehilangannya tetap mengguncang hatiku. Ayah, satu-satunya keluarga yang kumiliki, telah tiada. Dan aku, anak perempuan satu-satunya, berada ratusan kilometer dari rumah, Kembali ke Tempat Asal.

Setelah menerima kabar itu, aku segera mengatur perjalanan pulang. Namun, pikiran yang terus berputar dalam kepalaku adalah bagaimana aku bisa memberikan penghormatan terakhir yang pantas untuknya. Ayah selalu bercerita tentang keinginannya untuk dimakamkan di kampung halaman, tempat ia dibesarkan dan menghabiskan masa kecilnya. Namun, kenyataannya, kami telah tinggal di kota besar selama bertahun-tahun, jauh dari kampung.

Kembali ke Tempat Asal yang Hangat

Ketika aku tiba di rumah sakit, ayah sudah ditempatkan di kamar jenazah. Aku berdiri di sana, memandang wajahnya yang damai, dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Ayah harus kembali ke tempat asalnya, ke kampung halaman yang selalu ia rindukan.

Aku beruntung karena dalam kekacauan pikiranku, seorang sahabat lama ayah, Pak Rahman, menghubungiku. Beliau menyarankan untuk menggunakan jasa pengurusan pemakaman Indonesia yang ia kenal, yang tidak hanya profesional tetapi juga penuh empati. Dengan setengah bingung dan setengah lega, aku menerima bantuannya.

Layanan pemakaman itu datang dengan cepat dan tenang. Mereka membawa ambulans yang akan mengantar jenazah ayahku ke kampung halaman. Petugas pemakaman itu, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh pengertian, menjelaskan prosesnya kepadaku dengan lembut. Setiap langkah yang akan diambil dijelaskan dengan detail, memberikanku rasa tenang yang tidak pernah kuduga bisa kurasakan di saat seperti itu.

Sepanjang perjalanan menuju kampung halaman ayah, aku duduk di sebelah peti jenazahnya. Jalanan yang panjang dan sunyi memberi ruang bagiku untuk merenung. Kenangan masa kecil bersama ayah satu per satu kembali ke dalam benakku. Setiap tawa, setiap pelukan, setiap kali ia mengajakku berjalan-jalan di hutan belakang rumah kami di kampung. Semua itu kini menjadi kenangan yang membekas dalam hatiku.

Aku teringat pada saat-saat sulit kami setelah ibu meninggal. Ayah yang mencoba menjadi segalanya untukku—menjadi orang tua, sahabat, dan guru. Kini, aku harus membalas semua itu dengan memberikan apa yang ia inginkan: kembali ke tempat yang ia anggap rumah sejatinya.

Perjalanan Penuh Makna

Ketika kami tiba di kampung halaman, suasana berubah menjadi hening. Orang-orang kampung berkumpul, banyak yang mengenal ayah sejak kecil. Mereka menyambut kedatangan kami dengan rasa hormat yang mendalam. Petugas pemakaman mengurus semua dengan sangat baik, memastikan setiap detail pemakaman sesuai dengan adat setempat, memberi ruang bagiku untuk berduka dengan tenang.

Di pemakaman, aku berdiri di depan makam yang baru saja ditutup. Rasanya berat, tapi ada kelegaan yang muncul. Aku tahu, aku telah melakukan apa yang ayah inginkan. Aku memberikan dia rumah terakhirnya, tempat yang penuh kenangan dan cinta.

Setelah semua selesai, aku duduk di bawah pohon besar di dekat makam, merenung. Aku merasa seolah beban berat telah terangkat. Aku berterima kasih kepada layanan pemakaman dan ambulans yang telah membantu kami dengan penuh perhatian dan profesionalisme. Mereka memberiku kesempatan untuk fokus pada proses berduka, untuk benar-benar merasakan kehilangan ini tanpa harus dibebani oleh urusan teknis.

Ayah telah kembali ke tempat asalnya. Dan aku, meski terluka oleh kehilangan ini, merasa damai karena telah memenuhi janjiku padanya. Aku tahu, di suatu tempat, ayah pasti tersenyum, bahagia karena akhirnya ia pulang.

Leave a Comment

Leave a Reply