Kenangan di Ujung Hidup
Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, hiduplah seorang pria bernama Pak Herman. Rambutnya sudah memutih seluruhnya, kulitnya berkerut, dan langkahnya lamban. Pak Herman sudah lama tinggal sendirian. Istrinya telah meninggal beberapa tahun yang lalu, dan anak-anaknya telah pergi merantau, jarang kembali seperti Kenangan di Ujung Hidup.
Namun, Pak Herman tak sepenuhnya kesepian. Ia memiliki sahabat terbaiknya, Budi, yang telah bersamanya sejak masa muda. Mereka berdua selalu bersama, berbagi cerita dan tawa. Namun, takdir berkehendak lain. Budi jatuh sakit dan akhirnya meninggalkan Pak Herman seorang diri di dunia yang kini terasa lebih sepi dari sebelumnya.
Kenangan Yang Terus Hidup
Ketika Budi meninggal, Pak Herman merasa dunianya runtuh. Sahabat terbaiknya, satu-satunya orang yang selalu ada di sampingnya, kini telah pergi. Tak ada keluarga yang bisa dihubungi, dan dana untuk mengurus pemakaman pun tidak ada. Pak Herman duduk di kursi tua di ruang tamunya, menatap foto dirinya dan Budi yang tergantung di dinding. Air mata mengalir di pipinya yang keriput. “Bagaimana aku bisa mengurus pemakamanmu, Budi? Aku tak punya siapa-siapa lagi,” gumamnya lirih.
Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Pak Herman semakin kebingungan. Ia berjalan tanpa tujuan, berharap ada keajaiban yang bisa membantunya. Di tengah kebingungannya, ia bertemu dengan seorang wanita muda yang memperkenalkan diri sebagai Maria. Maria adalah seorang pekerja di sebuah jasa pengurusan pemakaman swasta yang bernama “Sentuhan Terakhir.”
“Pak Herman, saya mendengar tentang kondisi Anda dan sahabat Anda, Pak Budi. Kami di Sentuhan Terakhir ingin membantu Anda mengurus pemakaman beliau,” kata Maria dengan senyum lembut. Mata Pak Herman terbelalak, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Tapi… tapi saya tidak punya uang untuk membayar jasa kalian,” jawabnya dengan suara gemetar.
Maria menggenggam tangan Pak Herman dengan lembut. “Jangan khawatir, Pak. Kami tidak akan meminta bayaran. Kami hanya ingin memastikan bahwa sahabat Anda mendapatkan penghormatan terakhir yang layak.”
Pak Herman merasa haru. Ia tidak pernah menyangka akan ada orang yang begitu baik hati, yang mau membantu tanpa mengharapkan imbalan. Maria dan timnya dari Sentuhan Terakhir segera mengurus segala sesuatunya. Mereka memastikan bahwa Budi dimakamkan dengan penuh penghormatan, dengan semua prosedur yang layak.
Kenangan Berada di Hati Kenangan di Ujung Hidup
Pada hari pemakaman, Pak Herman berdiri di samping makam sahabatnya. Hujan turun dengan deras, seakan langit pun turut berduka. Maria dan timnya berdiri di belakangnya, memberikan dukungan moral. Pak Herman merasakan kehangatan yang tulus dari mereka, sebuah pengingat bahwa kebaikan masih ada di dunia ini.
Setelah pemakaman, Maria mengajak Pak Herman untuk minum teh di rumahnya. Mereka duduk bersama, berbincang tentang kenangan indah bersama Budi. “Pak Herman, meskipun Budi telah tiada, kenangan dan cinta yang Anda berdua miliki akan selalu hidup di hati Anda,” kata Maria lembut.
Pak Herman menatap Maria, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Maria. Kalian semua telah mengingatkan saya bahwa masih ada orang-orang baik di dunia ini, dan bahwa persahabatan yang sejati tak akan pernah hilang.”
Hari itu, di rumah tua yang biasa sepi, terdengar tawa dan cerita-cerita lama yang kembali hidup. Meskipun Budi telah pergi, Pak Herman menemukan sahabat-sahabat baru yang membuatnya merasa bahwa ia tak lagi sendirian. Ikatan persahabatan yang terjalin, meski singkat, mengingatkan Pak Herman pada nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya. Di penghujung hidupnya, Pak Herman merasa damai, ditemani oleh kenangan indah dan orang-orang yang peduli.
Leave a Comment