Kenangan Terakhir untuk Anakku
Aku mengenalnya dengan baik, seorang ibu tunggal yang selalu tampak tegar di hadapan dunia, meskipun di dalam hatinya menyimpan lautan kesedihan yang tak terucapkan. Namanya Winda, dan hidupnya sepenuhnya didedikasikan untuk putra satu-satunya, Alif. Winda adalah sosok yang mandiri, bekerja keras demi masa depan anaknya, seorang bocah laki-laki yang penuh tawa dan ceria. Namun takdir, dengan kejamnya, merenggut kebahagiaan itu dalam sekejap, Kenangan Terakhir untuk Anakku.
Hari itu, telepon di kantorku berdering seperti biasanya. Suaranya terdengar gemetar, hampir tak bisa dipahami, tetapi aku tahu itu Winda. “Anakku… Alif…” katanya di sela isak tangis yang mengguncang, “Dia sudah tidak ada.” Hanya beberapa kata, tetapi aku merasakan dunia seolah berhenti berputar. Mendadak. Seperti air yang terhenti mengalir, waktu seakan membeku dalam kedukaan yang mencekam.
Perjalanan Hidup Yang Terlintas
Aku bergegas ke rumahnya, mencoba membayangkan kesedihan yang harus dihadapinya. Winda duduk di sudut ruangan, wajahnya pucat dan matanya sembab. Sepertinya air matanya telah habis, yang tersisa hanya kehampaan. Aku tahu, dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkannya bukan hanya dukungan moral, tapi juga tindakan nyata yang bisa membantu meringankan beban yang ditanggungnya.
Sebagai bagian dari jasa pengurusan pemakaman Indonesia, tugasku adalah memastikan bahwa setiap langkah proses ini berjalan dengan lancar, menghormati kepergian orang yang dicintai, dan memberi ruang bagi keluarga untuk berduka tanpa harus terganggu oleh hal-hal praktis. Namun, kali ini terasa berbeda. Ada beban emosional yang lebih besar yang harus kupikul bersama Winda.
Aku duduk di sampingnya, memegang tangannya yang dingin dan berkata dengan lembut, “Kita akan mengurus semuanya, Winda. Kamu tidak perlu khawatir.” Dia hanya mengangguk pelan, seolah kelelahan untuk mengungkapkan apapun lagi.
Tim kami segera memulai prosesnya. Kami berkoordinasi dengan rumah sakit, mempersiapkan segala sesuatu dari pemulasaraan hingga pemakaman. Winda memilih sebuah peti sederhana, tetapi penuh makna baginya. Dia ingin Alif beristirahat dengan damai, dengan cara yang sederhana, seperti bagaimana ia hidup.
Kenangan Terakhir untuk Anakku Tercinta
Saat peti itu ditutup, aku melihat Winda berdiri di sana, memandangi wajah putranya untuk terakhir kalinya. Dia tidak menangis lagi, tetapi kesedihan itu terpancar jelas di matanya. Winda membelai kening Alif, dengan sentuhan yang penuh cinta dan kerinduan yang mendalam. “Selamat jalan, Nak,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Hari pemakaman tiba dengan suasana langit yang mendung, seolah alam pun turut berduka. Hanya sedikit orang yang hadir, sebagian besar adalah teman-teman dekat Winda. Kami menyiapkan segalanya dengan hati-hati, memastikan tidak ada satu detail pun yang terlewatkan. Saat upacara berlangsung, Winda berdiri dengan tegak di samping peti, meskipun aku tahu hatinya hancur berkeping-keping.
Setelah semua selesai, aku mendekati Winda, memberikan pelukan hangat yang ia balas dengan erat. “Terima kasih,” ucapnya dengan suara serak, “Kamu telah membuat ini lebih mudah bagiku. Aku tak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu dan timmu.”
Aku hanya tersenyum kecil, menyadari betapa berartinya apa yang telah kami lakukan bagi seorang ibu yang kehilangan. Di balik semua tangisan dan kesedihan, ada satu hal yang kami berikan, yaitu kesempatan bagi Winda untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya dengan cara yang paling damai dan penuh hormat. Kenangan terakhir ini mungkin tidak akan menghapus rasa sakitnya, tetapi setidaknya, Winda tahu bahwa Alif telah beristirahat dengan tenang.
Dan di sanalah aku berdiri, menyaksikan Winda yang kini perlahan melangkah pergi, membawa kenangan terakhir itu dalam hatinya. Kenangan yang akan ia simpan selamanya, sebagai penghormatan terakhir untuk anaknya yang tercinta.
Leave a Comment