Ketulusan dalam Duka

Ketika saya tiba di rumah keluarga Pak Arman, suasana hening menyelimuti ruangan. Kehilangan putra sulung mereka, Dimas, di usia muda adalah pukulan berat yang tidak pernah mereka duga. Raut wajah Bu Linda, istrinya, menggambarkan kelelahan emosional yang mendalam. Ia duduk di sudut ruang tamu, memeluk erat foto Dimas, sementara Pak Arman tampak berusaha keras menahan air mata di depan tamu-tamu yang datang, Ketulusan dalam Duka.

Di tengah suasana itu, seorang petugas layanan kedukaan Indonesia terbaik masuk dengan langkah pelan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Wati, seorang konsultan keluarga dari layanan kedukaan yang profesional. Dengan suara lembut, ia menyapa, “Kami turut berduka cita sedalam-dalamnya. Kami di sini untuk membantu Bapak dan Ibu melewati momen ini.”

Sebuah Duka Yang Menyakitkan

Bu Linda menatapnya dengan mata sembab, tidak berkata apa-apa. Namun, Ibu Wati tetap duduk di dekatnya, memegang tangannya, dan menunggu hingga Bu Linda merasa cukup tenang untuk bicara.

Dalam waktu singkat, saya melihat bagaimana kehadiran Ibu Wati membuat suasana menjadi lebih tertata. Ia tidak hanya membantu mengatur keperluan teknis seperti pemilihan peti, jadwal doa bersama, dan transportasi jenazah, tetapi juga menjadi pendengar yang sabar bagi keluarga.

Saat Bu Linda bercerita tentang Dimas—tentang hobinya bermain gitar dan mimpinya menjadi seorang musisi—Ibu Wati mendengarkan dengan penuh perhatian. “Apakah Ibu ingin ada elemen musik dalam perpisahan nanti?” tanyanya dengan hati-hati. Bu Linda mengangguk pelan.

Hari berikutnya, saya terkesan melihat bagaimana semua yang direncanakan berjalan dengan indah. Di ruang persemayaman, sebuah gitar kesayangan Dimas diletakkan di samping peti, sementara alunan musik akustik lembut mengiringi tamu-tamu yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir.

Ketulusan dalam Duka

Saat doa bersama berlangsung, saya melihat Ibu Wati berdiri di belakang, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun lebih dari itu, ia tampak benar-benar hadir untuk keluarga. Di sela-sela waktu, ia berbicara dengan Bu Linda, menguatkannya dengan kata-kata penuh empati.

“Dia tidak hanya membantu kami mengatur ini semua,” kata Bu Linda kepada saya di sela-sela acara. “Dia seperti teman yang benar-benar memahami apa yang kami rasakan.”

Pada akhirnya, hari itu bukan hanya tentang perpisahan, tetapi juga tentang bagaimana keluarga Pak Arman merasa dihargai dan didampingi. Kehilangan memang berat, tetapi kehadiran seseorang seperti Ibu Wati, yang tulus mendengar dan mendampingi, membuat mereka merasa lebih kuat.

Ketika prosesi terakhir selesai, Pak Arman menghampiri Ibu Wati. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, “Terima kasih sudah ada di sini untuk kami. Anda tidak hanya membantu kami mengurus semuanya, tetapi juga memberi kami ruang untuk berduka dengan tenang.”

Cerita ini menjadi pengingat bagi saya bahwa kadang, kehadiran dan telinga yang mau mendengar adalah hal paling berharga yang bisa diberikan kepada mereka yang sedang kehilangan.

Leave a Comment

Leave a Reply