Langit di Atas Tanah

Di kota yang germelap, hiduplah sebuah keluarga yang telah mengemban tradisi turun temurun. Mereka adalah keluarga Tanaka, yang telah menjaga kebiasaan pemakaman mahal sebagai lambang penghormatan kepada nenek moyang mereka. Namun, seperti halnya waktu yang terus berubah, angin perubahan mulai bertiup di antara keluarga Tanaka, Langit di Atas Tanah.

Ayah, Hiroshi Tanaka, adalah sosok yang sangat menghormati tradisi keluarga. Baginya, menjaga upacara pemakaman adalah suatu keharusan, sebuah cara untuk menghormati orang-orang yang telah berjasa bagi keluarga mereka. Namun, di sisi lain, putrinya, Aiko Tanaka, melihat tradisi tersebut sebagai beban finansial yang tak terlalu relevan lagi.

Diantara Konflik

“Ayah, mengapa kita harus menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk upacara pemakaman?” tanya Aiko pada suatu pagi, wajahnya dipenuhi kebingungan.

Hiroshi menatap putrinya dengan penuh kasih sayang namun tegar. “Ini adalah cara nenek moyang kita menghormati orang yang telah tiada. Itu adalah tanggung jawab kita untuk melanjutkan tradisi itu.”

Tetapi Aiko tidak begitu saja menerima penjelasan ayahnya. Dia mengerti nilai tradisi, tetapi dia juga melihat bahwa biaya upacara semakin membebani keluarga mereka. Baginya, itu bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang keberpihakan kepada anggota keluarga yang masih hidup.

Ketegangan mulai tumbuh di antara Hiroshi dan Aiko. Setiap kali topik pemakaman dibahas, suasana menjadi tegang dan penuh ketidaksepakatan. Bahkan ibu mereka, Emiko, yang selalu menjadi penengah, merasa kesulitan untuk menemukan kesepakatan di antara mereka.

Suatu hari, keputusan sulit harus diambil. Kakek mereka yang tercinta, Takeshi Tanaka, meninggal dunia. Hiroshi ingin mengadakan upacara pemakaman tradisional yang mewah, sementara Aiko bersikeras untuk mencari solusi yang lebih terjangkau.

“Kita bisa menyelenggarakan upacara yang sederhana tetapi bermakna,” usul Aiko dengan penuh harap.

Hiroshi menggelengkan kepala dengan tegas. Baginya, mengurangi pentingnya upacara adalah penghinaan terhadap nenek moyang mereka. Namun, dalam keputusannya untuk mempertahankan tradisi, Hiroshi juga menyadari bahwa keluarga mereka mungkin akan terpecah.

Kewajiban Yang Turun Temurun Langit di Atas Tanah

Di antara pertentangan keluarga, suara-suara dari generasi yang lebih muda mulai terdengar. Keponakan Aiko, Kenji, dan Mei, merasa bahwa mereka harus berdiri di pihak yang lebih praktis. Mereka mencoba mencari solusi yang dapat merangkul kedua tradisi dan kebutuhan keluarga modern.

“Mengapa kita tidak menggabungkan tradisi dengan inovasi? Kita bisa memiliki upacara yang menghormati nenek moyang kita, tetapi juga lebih terjangkau dan ramah lingkungan,” saran Mei dengan antusias.

Ide Mei menarik perhatian keluarga Tanaka. Mereka mulai memikirkan cara-cara untuk menggabungkan tradisi dengan solusi yang lebih praktis. Akhirnya, mereka setuju untuk menyelenggarakan upacara pemakaman yang sederhana namun bermakna, dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan dan memanfaatkan sumber daya lokal.

Saat matahari terbenam di balik gunung, keluarga Tanaka berkumpul di pemakaman mereka. Mereka merayakan kehidupan Kakek Takeshi dengan lagu-lagu dan cerita-cerita, sambil melihat langit senja yang indah di atas tanah pemakaman mereka.

Dalam momen-momen itu, Hiroshi, Aiko, Kenji, dan Mei menyadari bahwa nilai-nilai keluarga mereka tidak hanya terletak pada tradisi yang diwariskan, tetapi juga pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dan berkompromi demi kebaikan bersama. Dalam langit senja di atas tanah, mereka menemukan kedamaian dan persatuan, menguatkan ikatan keluarga mereka yang telah teruji oleh perubahan zaman.

Leave a Comment

Leave a Reply