Mengantar Sang Cahaya Kembali
Hari itu, aku melihat pasangan suami istri yang pernah kukenal sebagai pelanggan tetap di Kamboja, jasa layanan pemakaman tempatku bekerja. Mata mereka terlihat letih, namun ada sebuah tekad kuat dalam sorotnya. Mereka adalah Pak Arif dan Bu Rina, yang beberapa tahun lalu kehilangan anak tunggal mereka, Angga, dalam sebuah kecelakaan tragis. Saat itu, jenazah Angga dimakamkan di kota asal Bu Rina yang berjarak jauh dari tempat tinggal mereka di ibu kota, Mengantar Sang Cahaya Kembali.
Hari itu, mereka datang kepadaku dengan sebuah keputusan yang penuh makna. Mereka ingin memindahkan makam Angga ke Graha Sentosa Memorial Park, sebuah tempat pemakaman yang lebih dekat dengan rumah mereka. Rina berkata dengan suara yang hampir tersendat, “Kami ingin bisa lebih sering mengunjungi Angga. Rasanya, jarak yang jauh membuat kami semakin merasa kehilangan.”
Cahaya Yang Hangat
Aku bisa merasakan beratnya keputusan itu. Memindahkan makam aman bukanlah perkara mudah, baik secara emosional maupun logistik. Namun, di Kamboja, tugas kami bukan hanya membantu proses teknis, tetapi juga mendampingi keluarga yang sedang berduka dengan perhatian penuh. Ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan untuk memberikan sedikit kedamaian di tengah badai kehilangan.
Kami mulai merencanakan setiap detail dengan teliti. Dari penggalian makam di kota asal, proses pemindahan, hingga pengaturan tempat peristirahatan baru di Graha Sentosa. Setiap langkah kami lakukan dengan hati-hati, memastikan agar tidak ada satupun momen yang terasa terburu-buru atau kurang hormat. Aku selalu percaya bahwa dalam momen seperti ini, kehadiran kami bukan hanya untuk mengatur, tetapi juga untuk mendengarkan, memahami, dan mendampingi dengan tulus.
Hari pemindahan tiba. Kami mengatur segala sesuatunya dengan tenang. Ketika jenazah Angga tiba di Graha Sentosa, aku melihat Pak Arif menggenggam tangan Bu Rina dengan erat. Mata mereka berkaca-kaca, penuh dengan kenangan. Seolah, dalam setiap desahan napas, mereka sedang mengingat tawa anak mereka, langkah-langkah kecilnya yang dulu memenuhi rumah, dan suaranya yang ceria. Namun kini, hanya ada keheningan yang menyakitkan.
Di Graha Sentosa Memorial Park, kami telah mempersiapkan tempat peristirahatan baru yang dikelilingi pepohonan rindang. Suasana tenang dan damai seolah memberikan pelukan lembut bagi mereka yang telah pergi. Pak Arif dan Bu Rina berdiri di sana, di depan gundukan tanah baru yang akan menjadi rumah terakhir bagi anak mereka. Aku melihat mereka berdua menghela napas panjang, seakan sedang melepaskan sepotong rasa sakit yang telah lama mengganjal di hati mereka.
Mengantar Sang Cahaya Kembali
“Kami akhirnya bisa lebih dekat dengannya,” ujar Bu Rina pelan. “Kami bisa datang kapanpun, membawa bunga, menceritakan tentang hari-hari kami. Mungkin… dengan ini, hati kami bisa sedikit lebih tenang.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan, memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Kehilangan seorang anak adalah luka yang tak pernah benar-benar sembuh, tapi setidaknya, dengan pemindahan ini, ada sedikit rasa damai yang bisa mereka dapatkan.
Saat upacara kecil itu selesai, aku melihat Pak Arif menatap jauh ke arah langit. “Kami harap kau tenang di sana, Nak,” gumamnya dengan suara serak. Bu Rina menyeka air matanya yang perlahan menetes di pipinya. Dalam diam, aku ikut berdoa, berharap mereka menemukan kedamaian yang mereka cari.
Ketika mereka berjalan meninggalkan Graha Sentosa, aku tahu bahwa tugas kami bukan sekadar mengurus pemindahan makam. Kami membantu mereka melewati setiap tahap dengan perhatian yang tulus, sehingga mereka bisa fokus pada mengenang anak mereka dengan cara yang lebih damai. Kehilangan mungkin tidak akan pernah bisa dilupakan, tapi setidaknya, mereka bisa lebih dekat dengan kenangan indah yang pernah ada.
Dan di situlah, di antara pepohonan yang tenang, Angga akan selalu berada dalam hati mereka, sebagai cahaya yang tidak pernah benar-benar padam.
Leave a Comment