Menjemput Kedamaian yang Tertunda

Pagi itu, langit terlihat sedikit mendung ketika saya menerima telepon dari seorang wanita tua bernama Ibu Sulastri. Suaranya pelan, bergetar di ujung telepon, seakan menahan perasaan yang lama dipendam. Ia ingin berbicara tentang sesuatu yang sudah lama membebani hatinya. Suaminya, Pak Wiryo, telah berpulang lebih dari satu dekade yang lalu. Sejak kepergiannya, Ibu Sulastri selalu merasa ada yang kurang, seolah jarak antara mereka begitu jauh meski raga sudah terpisah oleh alam, Menjemput Kedamaian yang Tertunda.

“Saya ingin memindahkan makam suami saya ke Graha Sentosa Memorial Park,” katanya. “Dulu, saya tidak punya pilihan selain memakamkannya di kampung, di desa yang jauh dari sini. Tapi sekarang, saya ingin dia lebih dekat. Supaya saya bisa lebih sering mengunjunginya.”

Kedamaian Dalam Kehidupan

Suara Ibu Sulastri terdengar lelah, namun tekadnya begitu jelas. Baginya, keputusan ini bukan sekadar keinginan; ini adalah upaya untuk mendekatkan diri dengan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, hingga akhir hayat mereka terpisah oleh maut. Saya bisa merasakan bahwa ini adalah sesuatu yang penting baginya—sesuatu yang selama bertahun-tahun terpendam dalam hatinya.

Perusahaan tempat saya bekerja, Kamboja, memiliki pengalaman panjang dalam menangani pemindahan makam. Kami tahu betapa beratnya beban emosional yang dirasakan keluarga dalam proses ini. Maka, saya dan tim langsung bergerak cepat, menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk membantu Ibu Sulastri mencapai tujuannya.

Hari pertama kami berkunjung ke rumahnya, Ibu Sulastri menyambut kami dengan senyum hangat, meskipun saya bisa melihat gurat kesedihan di wajahnya. Di ruang tamu yang sederhana, foto almarhum suaminya terpajang dengan rapi di meja kecil, dikelilingi oleh bunga-bunga segar. Ia bercerita banyak tentang suaminya, tentang masa-masa ketika mereka masih muda, penuh cinta dan harapan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengandung cinta yang dalam, cinta yang tak pernah pudar meski waktu telah berlalu.

Kami menjelaskan proses pemindahan makam profesional dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap langkah dilakukan dengan penuh penghormatan. Saya ingin memastikan bahwa Ibu Sulastri merasa nyaman dan tenang selama proses ini berlangsung. Setiap detail kami atur, mulai dari penggalian hingga pemakaman ulang di Graha Sentosa Memorial Park, tempat yang diinginkannya.

Hari pemindahan tiba. Langit yang mendung seakan turut merasakan beratnya langkah kami, namun di balik awan gelap itu ada harapan yang menanti. Proses penggalian berlangsung dengan lancar, dan kami membawa jenazah Pak Wiryo menuju tempat peristirahatan barunya. Ibu Sulastri ikut dalam perjalanan itu, duduk di belakang mobil jenazah dengan mata yang berkaca-kaca. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya hening yang penuh makna.

Menjemput Kedamaian yang Tertunda

Setibanya di Graha Sentosa, kami menyelesaikan prosesi pemakaman dengan khidmat. Ibu Sulastri berdiri di samping liang lahat, menatap dalam-dalam ke arah peti yang perlahan diturunkan. Di sana, di tanah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya, Pak Wiryo akhirnya menemukan peristirahatan terakhirnya, di tempat yang akan selalu dijaga oleh cinta dan kenangan istrinya.

Setelah prosesi selesai, Ibu Sulastri duduk di tepi makam, menaburkan bunga dengan tangan gemetar. “Akhirnya, kita lebih dekat sekarang, Pak,” bisiknya pelan. Ada air mata yang mengalir di pipinya, tetapi ada juga senyum yang menghiasi wajahnya. Senyum itu penuh dengan rasa lega, seolah beban yang selama ini mengikatnya telah terlepas.

Ketika kami pamit, Ibu Sulastri berterima kasih dengan suara yang lebih mantap. “Terima kasih, Nak. Kini saya bisa mengunjunginya kapan saja, tanpa harus menempuh jarak yang jauh. Saya merasa lebih tenang.”

Saya meninggalkan Graha Sentosa Memorial Park dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ada kebahagiaan karena bisa membantu seorang istri memenuhi keinginannya. Di sisi lain, ada kesedihan karena saya menyaksikan betapa dalamnya cinta yang masih tersisa, bahkan setelah kematian. Tetapi di atas semuanya, saya merasa puas bahwa kami telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi Ibu Sulastri—kedamaian batin yang selama ini dirindukannya.

Leave a Comment

Leave a Reply