Mimpi yang Terjatuh

Dia bernama Aidan, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang hidupnya dipenuhi dengan impian besar. Dari kecil, dia bercita-cita menjadi seorang arsitek terkenal yang akan merancang bangunan-bangunan megah di seluruh dunia. Setiap malam, dia merenungkan gambaran bangunan yang telah ia susun dalam pikirannya. Namun, takdir berkata lain terhadap Mimpi yang Terjatuh.

Suatu pagi, matahari menyapa Aidan dengan sinarnya yang hangat. Namun, senyum di wajahnya pudar ketika ia mendapati dirinya tergeletak di ranjang rumah sakit. Dokter yang berdiri di sampingnya menyampaikan kabar yang mengguncang dunianya: “Maaf, Aidan. Kau menderita penyakit yang langka dan tak bisa disembuhkan. Kamu memiliki waktu yang tidak lama.”

Impian

Detik itu, seperti mimpi yang diretas menjadi mimpi buruk, segala rencana dan impian Aidan hancur berkeping-keping. Arsitek terkenal? Bangunan megah? Semua tampak seperti bayangan yang semakin memudar seiring berjalannya waktu. Namun, di tengah keputusasaan itu, bara semangat dalam dirinya masih membara.

Dalam hari-hari berikutnya, Aidan menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Meski fisiknya melemah, tekadnya untuk mewujudkan impian tak pernah padam. Dia mulai merancang bangunan-bangunan kecil di buku catatannya, meskipun hanya dengan tangan yang gemetar. Setiap garis yang ia gambar, setiap sudut yang ia ukur, adalah upaya kerasnya untuk tetap hidup, untuk meraih impian yang terasa semakin jauh.

Namun, keadaan semakin merosot. Setiap nafas yang diambilnya terasa semakin berat. Setiap detik yang berlalu membawa dirinya semakin dekat pada pintu keluar dari kehidupan ini. Namun, di tengah gelapnya malam, di antara suara-suara monitor yang melambai, ia menemukan kilatan cahaya harapan.

Seorang perawat yang ramah, Ibu Anna, sering kali menyempatkan waktu untuk duduk di samping Aidan. Dia mendengarkan cerita-cerita masa kecil Aidan, impian-impian yang pernah ia genggam erat, dan perjuangannya untuk tidak menyerah pada penyakitnya. Dari percakapan-percakapan itu, Ibu Anna memberikan semangat baru pada Aidan.

“Jangan biarkan penyakitmu menentukan siapa kamu, Aidan. Kamu masih punya kekuatan untuk mewujudkan impianmu, meskipun jalannya mungkin tidak lurus. Tidak ada yang bisa menghalangi kamu untuk bermimpi dan berjuang,” ucap Ibu Anna dengan suara lembut, tetapi penuh keyakinan.

Tidak Terbangun Mimpi yang Terjatuh

Dorongan dari Ibu Anna membakar semangat Aidan. Meskipun tubuhnya lemah, namun semangatnya tetap membara. Dia kembali merancang, kali ini tidak hanya bangunan-bangunan di kertas, tetapi juga rencana-rencana untuk menyebarkan inspirasi dan kebaikan kepada orang lain yang mungkin berada dalam situasi serupa.

Namun, takdir memiliki rencananya sendiri. Pagi itu, saat sinar matahari mulai menerangi ruangan rumah sakit, Aidan menghembuskan nafas terakhirnya. Di samping tempat tidurnya, buku catatan yang penuh dengan impian dan rencana masih terbuka, sebagai saksi bisu dari perjuangannya yang tak kenal lelah.

Kematian Aidan bukanlah akhir dari kisahnya. Kisah tentang seorang pemuda yang memiliki impian besar, yang meski harus meninggalkan hidupnya secara mendadak, tetapi tidak pernah berhenti bermimpi dan berjuang. Kisah tentang bagaimana impian itu terputus dengan tragis, tetapi tetap meninggalkan jejak yang abadi dalam hati orang-orang yang pernah bersamanya. Karena, dalam akhirnya, impian adalah cahaya yang selalu menyala, bahkan di tengah kegelapan yang paling dalam.

Leave a Comment

Leave a Reply