Pulang ke Pangkuan Ibu
Saat kabar itu sampai ke telinga saya, hati saya serasa diremas-remas. Pagi itu, pasangan muda, Reza dan Lila, datang ke kantor kami dengan wajah yang dipenuhi kesedihan mendalam. Mereka kehilangan putra mereka, Arga, dalam sebuah kecelakaan tragis beberapa bulan lalu. Namun, kali ini mereka datang bukan untuk mengenang, melainkan untuk memindahkan makam Arga yang berada di desa kecil jauh dari kota tempat mereka tinggal sekarang. Mereka ingin Arga lebih dekat, agar bisa mengunjunginya kapan saja mereka merindukan senyum kecilnya yang manis, Pulang ke Pangkuan Ibu.
Di ruang tunggu itu, saya melihat Lila meremas-remas tangannya, sementara Reza berusaha menenangkan istrinya dengan menggenggam erat jemarinya. Meskipun mereka berusaha kuat, saya bisa merasakan kepedihan yang tersimpan dalam tiap tarikan napas mereka. Kesedihan mereka adalah jenis kesedihan yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya terkubur di balik senyum yang mereka paksakan setiap hari.
Cinta Yang Hangat
Saat kami mulai berdiskusi, saya bisa melihat kesulitan yang mereka hadapi. Memindahkan makam bukanlah tugas yang mudah, baik secara emosional maupun logistik. Tapi, yang lebih sulit bagi mereka adalah menghadapi kenyataan bahwa mereka harus membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
“Arga… dia sangat mencintai tempat di mana dia dilahirkan,” kata Lila dengan suara yang bergetar. “Tapi, kami merasa dia lebih butuh berada di sini… di dekat kami.”
Saya memahami perasaan mereka. Dalam situasi seperti ini, banyak orang tua yang merasa bahwa mereka bisa lebih tenang jika anak mereka berada di dekat mereka. Itu adalah bentuk lain dari cinta yang tidak pernah luntur.
Jasa pemindahan makam umum memerlukan banyak persiapan. Kami harus memastikan semua perizinan terpenuhi, serta mempersiapkan segala sesuatu dengan penuh kehormatan. Dalam setiap langkah yang kami ambil, saya dan tim berusaha menjaga agar Reza dan Lila bisa fokus pada perasaan mereka, bukan pada kerepotan teknis yang menyertainya.
Hari itu tiba, di mana makam Arga akan dipindahkan. Langit mendung seakan ikut merasakan kesedihan yang melingkupi hari itu. Saya berdiri bersama tim di pemakaman lama, menyaksikan saat makam kecil itu mulai digali. Reza dan Lila berdiri tidak jauh dari kami, berpelukan erat, mencoba mencari kekuatan satu sama lain.
“Apa kami melakukan hal yang benar?” Lila bertanya, matanya dipenuhi air mata.
“Tidak ada yang lebih benar dari apa yang dilakukan karena cinta,” jawab saya, mencoba memberikan sedikit ketenangan di hati mereka yang gundah.
Pulang ke Pangkuan Ibu Yang Indah
Ketika kami tiba di pemakaman baru, suasana terasa hening, hampir suci. Makam yang baru telah disiapkan dengan hati-hati. Kami mengatur segala sesuatunya agar momen ini tidak sekadar menjadi proses formalitas, tetapi juga penghormatan terakhir yang pantas untuk Arga.
Reza dan Lila memegang setangkai bunga mawar putih, lambang kesucian dan cinta yang abadi. Mereka menunduk di hadapan makam baru itu, menyatukan doa dalam diam. Dalam momen itu, saya menyadari bahwa tugas kami bukan sekadar memindahkan makam, tetapi membantu mereka memindahkan cinta dan kenangan mereka ke tempat yang lebih dekat dengan hati mereka.
Proses pemakaman selesai dengan tenang, tidak ada kerumunan, tidak ada hiruk pikuk, hanya keheningan yang penuh dengan rasa syukur dan cinta. Saya melihat bagaimana Reza dan Lila meneteskan air mata, bukan lagi karena kesedihan, tetapi karena kelegaan. Mereka telah memberi penghormatan terakhir yang pantas bagi Arga, dan kini mereka bisa merasa lebih dekat dengannya, setiap hari.
Ketika semuanya selesai, saya menyadari satu hal yang mendalam. Pemindahan makam bukan hanya tentang fisik yang berpindah, tetapi tentang perasaan yang mencari tempat yang lebih dekat dengan hati. Reza dan Lila kini bisa pulang setiap hari, membawa doa dan kenangan untuk Arga yang kini telah ‘pulang’ ke pangkuan ibu dan ayahnya.
Leave a Comment